Halaman

Efek

Menu

Jumat, 14 Maret 2014

Prisip Stratigrafi

PENDAHULUAN

Dalam pengertiannya yang paling sederhana, korelasi diartikan sebagai usaha untuk menunjukkan ekivalensi satuan-satuan stratigrafi. Korelasi merupakan bagian fundamental dari stratigrafi dan banyak usaha telah dilakukan oleh para ahli untuk menciptakan satuan-satuan stratigrafi resmi yang pada gilirannya memungkinkan ditemukannya metoda-metoda praktis dan handal untuk mengkorelasikan satuan-satuan tersebut. Tanpa korelasi, penelaahan stratigrafi tidak lebih dari sekedar pemerian stratigrafi lokal.
Konsep korelasi menembus jauh kepada akar stratigrafi. Prinsip-prinsip dasar korelasi telah ditampilkan dalam ber-bagai buku ajar lama mengenai geologi dan stratigrafi. Pembahasan yang menarik mengenai hal ini dilakukan oleh Dunbar & Rodgers (1957), Weller (1960), serta Krumbein & Sloss (1963). Terus meningkatnya ketertarikan para ahli pada masalah korelasi antara lain ditunjukkan oleh terbitnya sejumlah karya tulis baru mengenai korelasi, khususnya korelasi yang dilakukan dengan menggunakan metoda statistika (a.l. Agterberg, 1990; Cubitt & Reyment, 1982; Mann, 1981; Merriam, 1981).
Konsep-konsep dasar korelasi stratigrafi telah ditetapkan dengan mantap pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an. Prinsip-prinsip dasar tersebut yang masih tetap penting dewasa ini. Walau demikian, munculnya berbagai konsep dan metoda analisis baru hingga tingkat tertentu telah mengubah persepsi kita mengenai korelasi serta menelurkan metoda-metoda korelasi baru. Perkembangan magnetostratigrafi sejak dasawarsa 1950-an, misalnya saja, terbukti merupakan alat baru yang sangat penting untuk korelasi kronostratigrafi berdasarkan magnetic polarity events. Selain itu, perkembangan baru dalam teknologi komputer dan penerapan metoda-metoda statistika dalam korelasi statigrafi telah banyak mem-berikan nilai kuantitatif pada korelasi stratigrafi. Dalam tulisan ini saya akan mencoba menyajikan sejumlah perkembangan baru tersebut, bersama-sama dengan konsep-konsep korelasi stratigrafi “klasik.”

DEFINISI KORELASI

Meskipun konsep korelasi telah ada sejak awal perkembangan stratigrafi, namun para ahli belum sepakat mengenai arti eksak dari istilah “korelasi” itu sendiri. Dilihat dari kacamata sejarah, ada dua pendapat mengenai hal ini. Pendapat pertama bersikukuh agar konsep korelasi hanya diartikan sebagai usaha untuk memperlihatkan kesebandingan waktu (time equivalency); maksudnya, korelasi merupakan usaha untuk menunjukkan bahwa dua tubuh batuan diendapkan pada rentang waktu yang sama (Dunbar & Rodgers, 1957; Rodgers, 1959). Dilihat dari kacamata ini, usaha untuk memperlihat-kan ekivalensi dua satuan litostratigrafi berdasarkan kemiripan litologi tidak termasuk ke dalam kategori korelasi. Pendapat kedua mengartikan korelasi secara luas sehingga mencakup semua usaha untuk memperlihatkan kesebandingan litologi, paleontologi, atau kronologi (Krumbein & Sloss, 1963). Dengan kata lain, dua tubuh batuan dapat dikorelasikan sebagai satuan litostratigrafi atau satuan biostratigrafi yang sama, meskipun keduanya memiliki umur yang berbeda. Karena keluasan arti dan kesederhanaan pemakaiannya, tidak mengherankan apabila kebanyakan ahli geologi dewasa ini lebih cenderung untuk menerima pengertian korelasi yang luas ini. Para ahli geologi perminyakan, misalnya saja, secara rutin melakukan korelasi formasi-formasi bawah permukaan dengan menggunakan well logs atau rekaman seismik. Sandi Stratigrafi Amerika Utara 1983 mengakui adanya tiga tipe utama korelasi sbb:
1. Litokorelasi (lithocorrelation) yang mengungkapkan kemiripan litologi dan posisi stratigrafi.
2. Biokorelasi (biocorrelation) yang mengungkapkan kemiripan kandungan fosil dan posisi biostratigrafi.
3. Kronokorelasi (chronocorrelation) yang mengungkapkan korespondensi umur dan posisi kronostratigrafi.
Berikut akan dikemukakan hubungan antara litokorelasi dengan kronokorelasi. Kronokorelasi dapat dibuat berdasar-kan setiap metoda yang memungkinkan penyetaraan umur strata. Korelasi yang didasarkan pada litologi juga dapat menghasilkan korelasi kronostratigrafi pada skala lokal, namun apabila ditelusuri secara regional, banyak satuan lito-stratigrafi memotong bidang-bidang waktu. Satuan stratigrafi yang diendapkan selama transgresi atau regresi besar memotong bidang-bidang waktu. Contoh formasi transgresi-regresi paling terkenal di Amerika Utara adalah Tepeats Sand-stone (Kambrium) di Grand Canyon. Tepeats Sandstone di tepi barat Grand Canyon semuanya berumur Kambrium Awal, sedangkan Tepeats Sandstone di tepi timur ngarai tersebut semuanya berumur Kambrium Tengah (gambar 1). Dengan demikian, Tepeats Sandstone, yang dapat ditelusuri secara lateral di semua bagian ngarai tersebut, dikorelasikan sebagai satu satuan litostratigrafi, namun bukan sebagai satuan kronostratigrafi. Satu hal penting yang perlu ditekankan disini adalah bahwa batas-batas yang ditentukan berdasarkan kriteria tertentu belum tentu sama dengan batas-batas yang ditentukan berdasarkan kriteria lain. Fakta inilah yang mendorong munculnya metoda-metoda korelasi yang beragam (litokorelasi, biokorelasi, kronokorelas) dan dapat memberikan hasil yang berbeda-beda, meskipun diterapkan pada lintap stratigrafi yang sama.
Hal lain yang penting ditekankan disini adalah perbedaan antara konsep matching dengan konsep korelasi. Matchingdidefinisikan secara sederhana sebagai korespondensi serangkaian data dengan tidak merujuk pada satuan stratigrafi (Schwarzacher, 1975; Shaw, 1982). Sebagai contoh, dua satuan dalam penampang-penampang stratigrafi dari daerah yang berbeda, namun memiliki litologi yang pada dasarnya identik (misalnya dua serpih hitam), dapat di-match-kan berdasarkan litologinya. Walau demikian, kedua satuan itu mungkin tidak sebanding, baik dalam hal waktu maupun litostragrafinya. Penelusuran satuan-satuan yang terletak diantara berbagai lokasi itu mungkin akan memberikan informasi bahwa salah satu diantaranya terletak di atas satuan yang lain. Matching berdasarkan karakter litologi pada kasus seperti itu tidak menunjukkan kesebandingan. Shaw (1982) menyatakan bahwa proses korelasi adalah proses untuk menunjuk-kan hubungan geometri antara batuan, fosil, atau lintap data geologi dengan tujuan untuk menafsirkan dan menyusun model fasies, merekonstruksikan paleontologi, atau untuk menyusun model struktur. Tujuan korelasi adalah menetapkan ekivalensi satuan-satuan stratigrafi yang terletak di daerah yang berbeda-beda. Definisi itu secara implisit menyatakan bahwa korelasi dilakukan diantara satuan-satuan stratigrafi (satuan litostratigrafi, satuan biostratigrafi, dan satuan krono-stratigrafi). Perbedaan antara korelasi dengan matchingdilukiskan pada gambar 2. Gambar 2A memperlihatkan dua penampang stratigrafi yang match sempurna. Litokorelasi yang seharusnya diperlihatkan pada gambar 2B. Garis-garis pada gambar 2A tidak menyatakan korelasi karena tidak menghubungkan satuan-satuan litostratigrafi yang ekivalen.
Korelasi dapat dianggap langsung (resmi) atau tidak langsung (tidak resmi) (Shaw, 1982). Korelasi langsung (direct correlation) dilakukan secara fisik dan hasilnya tidak diragukan. Penelusuran fisik suatu satuan stratigrafi yang menerus merupakan satu-satunya metoda yang mampu memperlihatkan korespondensi satuan litostratigrafi dari satu tempat ke tempat lain secara meyakinkan. Korelasi tidak langsung (indirect correlation) dilakukan dengan berbagai metoda seperti pembandingan visual terhadap well logs, rekaman pembalikan kutub magnet, atau kumpulan fosil. Walau demikian, pembandingan seperti itu memiliki tingkat kehandalan yang berbeda-beda dan tidak pernah benar-benar meyakinkan. Korelasi tidak langsung berdasarkan satu gejala fisik atau gejala biologi tertentu yang memang diperlukan sekaligus memadai untuk menunjukkan ekivalensi disebut korelasi monotetik (monothetic correlation). Penunjukkan ekivalensi yang dilakukan secara statistik berdasarkan sejumlah karakter, karena tidak ada satu karakter tunggal yang memadai untuk menunjukkan ekivalensi, disebut korelasi politetik (polythetic correlation). Korelasi politetik umumnya menuntut dilakukan-nya pengukuran-pengukuran yang sistematis serta dilibatkannya statistika; bukan sekedar pembandingan visual. Per-bedaan antara matching, korelasi formal, dan korelasi tidak langsung diperlihatkan pada gambar 3.
LITOKORELASI
Penelusuran Satuan Stratigrafi ke Arah Lateral
Penelusuran langsung satuan litostratigrafi dari satu lokasi ke lokasi lain merupakan satu-satunya metoda yang dapat memberikan informasi yang sangat meyakinkan kepada kita mengenai ekivalensi satuan tersebut. Metoda korelasi ini hanya dapat diterapkan apabila strata yang diteliti tersingkap secara menerus atau hampir menerus. Cara penelusuran langsung adalah dengan mengikuti satuan litostratigrafi itu ke arah lateral, jengkal demi jengkal. Seorang ahli geologi yang menelusuri satuan stratigrafi dari satu lokasi ke lokasi lain dengan menelusuri suatu bidang perlapisan dapat meyakinkan dirinya bahwa dia telah menetapkan korelasi pada saat itu juga. Jadi, usaha yang mungkin memerlukan ketahanan fisik itu akan memberikan hasil yang memuaskan. Cara lain yang juga berguna, namun kehandalannya sedikit lebih rendah dibanding hasil yang diperoleh dengan cara di atas, adalah dengan cara menelusuri penyebaran lateral suatu lapisan sebagaimana yang tampak pada potret udara. Pada daerah yang kaya akan singkapan dan kenampakan singkapan itu praktis tidak terganggu oleh kehadiran tanah atau vegetasi, penelusuran lateral satuan stratigrafi dapat dilakukan dengan cepat dan efektif melalui potret udara. Metoda ini hanya dapat diterapkan pada lapisan-lapisan yang khas dan cukup tebal untuk dapat terlihat pada potret udara.
Meskipun penelusuran satu atau sejumlah lapisan merupakan satu-satunya metoda korelasi yang sangat meyakinkan, namun metoda itu bukan tidak terbatas. Salah satu pembatas yang paling serius adalah fakta bahwa, pada kebanyakan daerah penelitian, suatu lapisan biasanya tidak dapat ditelusuri hingga jarak yang jauh karena pada tempat-tempat tertentu lapisan itu tertutup oleh tanah atau vegetasi, terdeformasi (misalnya sesar), tererosi (misalnya terpotong oleh satu sungai besar). Masalah lain yang mungkin muncul adalah hilangnya lapisan batuan yang ditelusuri karena membaji atau berubah secara lateral menjadi lapisan batuan yang lain. Hal seperti itu seringkali terjadi pada kasus strata non-marin. Pada kasus seperti itu, penelusuran suatu individu lapisan atau suatu bidang perlapisan tidak mungkin dilakukan. Jadi, dalam prakteknya, para ahli geologi umumnya hanya dapat menelusuri satuan litostratigrafi yang relatif besar (misalnya sebuah anggota atau sebuah formasi) yang terdiri dari sejumlah lapisan dengan karakter yang mirip satu sama lain.

Kemiripan Litologi dan Posisi Stratigrafi

Kemiripan Litologi

Para ahli geologi yang bekerja pada daerah dimana penelusuran langsung tidak mungkin dilakukan, harus meng-andalkan metoda-metoda yang melibatkan proses matching strata dari satu tempat ke tempat lain berdasarkan kemiripan litologi dan posisi stratigrafi. Karena matching strata belum tentu mengindikasikan korelasi, maka korelasi yang didasarkan pada kemiripan litologi memiliki tingkat kehandalan yang beragam. Keberhasilan dari korelasi dengan cara seperti itu tergantung pada kekhasan gejala litologi yang digunakan sebagai indikator korelasi, khuluk lintap stratigrafi yang akan dikorelasikan, serta ada tidaknya perubahan litologi dari satu tempat ke tempat lain. Perubahan fasies dalam suatu satuan litostratigrafi jelas akan menyebabkan kompleksnya masalah korelasi.
Kemiripan litologi dapat ditetapkan berdasarkan berbagai sifat batuan, misalnya litologi umum (gross lithology; mis. batupasir, serpih, atau batugamping), warna, kumpulan mineral berat atau mineral khas lainnya, struktur sedimen primer (mis. perlapisan dan laminasi silang-siur), ketebalan, dan karakter lapukan. Makin banyak sifat batuan yang dijadikan sebagai dasar matching, makin tinggi kemungkinan kita untuk dapat me-match-kan litologi yang bersesuaian. Satu sifat tunggal, misalnya warna atau ketebalan, dapat berubah secara lateral, namun sejumlah sifat litologi memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk berubah secara lateral. Saya ingatkan lagi bahwa matching strata berdasarkan litologi tidak menjamin bahwa korelasi dapat ditetapkan. Strata dengan karakter litologi yang sangat mirip dapat terbentuk pada lingkungan pengendapan yang juga mirip, namun mungkin terpisahkan oleh ruang dan waktu yang lebar. Korelasi berdasarkan sifat litologi terutama sukar dilakukan dalam lintap mendaur. Pada lintap seperti itu, suatu lapisan atau paket lapisan dengan karakter litologi tertentu dapat muncul berulang-ulang pada satu daerah yang relatif kecil.
Korelasi litologi yang paling dapat diandalkan hanya dapat dibuat apabila kita dapat me-match-kan tidak hanya satu atau dua lapisan atau tipe batuan yang khas, melainkan satu lintap batuan yang khas. Sebagai contoh, formasi-formasi Trias dan Jura di Colorado Plateau, bagian barat Amerika Serikat, disusun oleh suatu lintap khas yang sebagian besar merupakan satuan batulanau merah/hijau dan satuan batulumpur non-marin (Formasi Moenkopi, Chinle, Kayenta, Summerville, dan Morrison) yang berselingan dengan batupasir eolus putih hingga merah dan berlapisan silang-siur (Formasi Wingate, Navajo, dan Estrada). Lintap dari formasi-formasi itu demikian khasnya sehingga dapat dikenal dan dikorelasikan secara meyakinkan hingga jarak yang jauh (gambar 4). Pada beberap kasus, masih mungkin bagi kita untuk meningkatkan kehandalan korelasi dengan cara menerapkan teknik-teknik statistika, baik yang dilakukan secara manual maupun dengan bantuan komputer. Metoda-metoda kuantitatif itu dapat memberikan ukuran probabilitas kesahihan dari korelasi yang kita buat (Agterberg, 1990).

Posisi Stratigrafi

Penjelasan di atas menunjukkan kebenaan posisi stratigrafi dalam korelasi yang didasarkan pada identitas litologi. Beberapa formasi di Colorado Plateau secara litologi mirip, namun karena muncul dalam suatu lintap strata yang cukup khas untuk dapat dikorelasikan dari satu tempat ke tempat lain, maka individu-individu formasi juga dapat dikorelasikan berdasarkan posisinya dalam lintap tersebut. Cara lain dimana posisi stratigrafi juga memegang peranan penting adalah penentuan korelasi berdasarkan kaitannya dengan suatu lapisan atau satuan yang sangat khas dan dapat dengan mudah dikorelasikan dari satu tempat ke tempat lain. Lapisan atau satuan seperti itu berperan sebagai control unit untuk meng-korelasikan strata yang terletak di atas dan dibawahnya. Sebagai contoh, lapisan satuan debu jatuhan yang tipis atau lapisan bentonit mungkin hadir dalam suatu lintap stratigrafi dan dapat dengan mudah dikenal pada daerah tertentu. Jika debu atau bentonit itu merupakan satu-satunya lapisan debu atau bentonit dalam lintap stratigrafi di daerah itu, sehingga tidak mungkin tertukar dengan lapisan debu atau bentonit lain, maka lapisan itu dapat berperan sebagai lapisan kunci (key bed; marker bed), kepada lapisan mana strata lain dapat dikaitkan. Strata yang terletak tidak jauh di atas atau di bawah control unit dapat dikorelasikan dengan tingkat keyakinan yang tinggi. Jika dua atau lebih lapisan kunci hadir dalam suatu lintap stratigrafi, maka hal itu akan lebih meningkatkan kehandalan korelasi strata yang terletak diantara dua lapisan kunci. Jelas sudah bahwa korelasi akan lebih meyakinkan lagi apabila jarak antar lapisan kunci itu makin rapat.

Korelasi Berdasarkan Well logs

Well logs adalah kurva-kurva hasil berbagai pengukuran lubang bor. Setiap kurva menggambarkan variasi sifat batuan disekitar lubang bor, misalnya resistivitas listrik, kemampuannya dalam melewatkan gelombang suara, atau daya serap dan kemampuannya dalam mengeluarkan radiasi nuklir. Kurva-kurva itu merupakan cerminan perubahan litologi umum, mineralogi, fluida ruang pori, porositas, dan aspek-aspek lain dari formasi bawah permukaan. Jadi, korelasi dengan menggunakan well logs tidak didasarkan pada litologi total. Walau demikian, sebagian besar sifat batuan yang diukur oleh well logs memiliki kaitan yang erat dengan litologi.
Sebagaimana telah diketahui, well logs diperoleh dengan prosedur sebagai berikut. Setelah suatu exploratory welldibor oleh perusahaan migas, lubang itu kemudian di-log sebelum diputuskan apakah lubang itu akan dijadikan lubang penghasil migas atau ditinggalkan sebagai lubang kering (dry hole). Prosedur logging dimulai dengan menurunkan sebuah alat yang disebut sonde ke dasar sumur. Sonde yang diturunkan itu mungkin merupakan sonde yang dirancang untuk mengukur resistivitas listrik formasi bawah permukaan, mengukur radiasi sinar-gamma alami atau induced gamma-ray radiation yang dikeluarkan oleh batuan-batuan tersebut, mengukur kecepatan suara di dalam batuan-batuan tersebut, atau sifat-sifat batuan yang lain. Ketika sonde itu ditarik ke atas secara perlahan-lahan, secara berturut-turut dan menerus dia mengukur sifat-sifat tersebut mulai dari batuan yang terletak paling bawah hingga batuan yang terletak paling atas. Pada waktu yang bersamaan, sonde itu mengirimkan data hasil pengukuran ke dalam suatu digital tape dan display unit yang terletak di dalam logging truck di permukaan.
Salah satu tipe well log yang sering digunakan adalah log listrik (electric log), atau log resistivitas (resistivity log), yang merekam resistivitas batuan. Resistivitas batuan dipengaruhi oleh litologi batuan serta jumlah dan khuluk fluida dalam ruang pori batuan tersebut. Sebagai contoh, serpih marin yang ruang-ruang porinya diisi oleh air formasi asin akan memiliki resistivitas listrik yang lebih rendah (atau konduktivitas listrik yang lebih tinggi) dibanding batupasir atau batu-gamping sarang yang ruang-ruang porinya diisi oleh minyak atau gasbumi. Dengan bertambahnya pengalaman kerja di suatu tempat, seorang ahli geologi perminyakan dapat dengan relatif mudah mengenal sinyal tertentu pada log dan kemudian mengaitkannya dengan tipe-tipe satuan litologi atau formasi tertentu yang ada di daerah tersebut. Litologi tidak dapat dibaca langsung dari log, namun karakter log merupakan cerminan dari litologi (dan fluida yang ada didalamnya). Tipe-tipe alat logging lain yang sering digunakan adalah log sinar gamma (gamma ray log), yang mengukur radiasi sinar-gamma alami dalam batuan, dan sonic log yang mengukur kecepatan gelombang suara dalam batuan. Selain bermanfaat dalam korelasi, sonic log juga dapat digunakan untuk menentukan porositas formasi bawah permukaan karena gelombang suara akan menjadi lambat ketika melewati bagian batuan yang terisi oleh fluida.
Tipe-tipe well log lain (mis. geochemical logsformation microscannermagnetic susceptibility logs) juga sering di-gunakan, namun semuanya memiliki karakter umum bahwa mereka merupakan kurva-kurva yang mencerminkan sifat-sifat tertentu dari batuan bawah permukaan yang memiliki kaitan dengan litologi, fluida ruang pori, ketebalan lapisan, dan aspek-aspek batuan yang lain. Salah satu tipe tampilan log terdiri dari dua tipe kurva yang berbeda dan mengapit satu kolom yang merepresentasikan lubang bor. Gambar 5 melukiskan suatu bagian dari well log yang memperlihatkan sonic curve dan kurva sinar gamma. Bentuk dari kurva-kurva yang dihasilkan dari satu satuan litologi tertentu tidak bersifat unik, namun seorang well-log analyst yang terlatih dan berpengalaman dapat mengenal sinyal-sinyal dari suatu formasi tertentu atau urut-urutan beberapa formasi tertentu serta dapat me-match-kan sinyal-sinyal dalam suatu log dengan log lain yang diambil dari sumur-sumur lain disekitarnya. Penjelasan yang lebih mendalam mengenai well logs dan penafsirannya dapat dilihat dalam karya tulis Asquith (1982) dan Rider (1986).
Well logs dari sumur yang berdekatan biasanya sangat mirip, namun tingkat kemiripan itu akan berkurang dengan makin jauhnya jarak antar sumur. Dengan meneliti sumur-sumur yang relatif berdekatan, seorang ahli geologi dapat mengkorelasikan seluruh bagian cekungan. Sebenarnya, salah satu alasan mengapa para ahli geologi perminyakan memandang well logs sangat bermanfaat adalah karena korelasi well logs memungkinkan mereka dapat mengenal gejala-gejala pembajian dan perubahan fasies yang mungkin merupakan jebakan migas yang potensial. Gambar 6 merupakan sebuah contoh korelasi berdasarkan log listrik pada suatu cekungan. Para ahli geologi sering menambahkan informasi mengenai litologi yang diperoleh dari inti bor (drill core) atau serbuk pengeboran (drill cutting) kepada well logs. Walau demikian, saya tekankan kembali bahwa korelasi well logs tidak harus didasarkan pada varietas sifat litologi, termasuk porositas dan kandungan fluida. Korelasi well logs sebenarnya lebih didasarkan pada posisi setiap satuan dalam suatu lintap satuan seperti yang diindikasikan oleh log, bukan berdasarkan karakter individu satuan yang dicerminkan dalam kurva. Jadi, korelasi berdasarkan well logs merupakan ekivalen bawah permukaan dari korelasi penampang-penampang permukaan yang didasarkan pada posisi batuan dalam suatu lintap batuan.
Korelasi berdasarkan well logs dapat menjadi pekerjaan yang melelahkan dan melibatkan sejumlah besar log. Pekerjaan itu juga dipengaruhi oleh subjektivitas berkaitan dengan kesan seseorang terhadap kemiripan kurva-kurva yang ada pada berbagai bagian lubang bor yang diukur. Perbedaan antar satuan stratigrafi mungkin hanya dimanifestasikan oleh perbedaan bentuk kurva yang samar dan mungkin sukar dikenal secara visual. Tersedianya komputer dan teknik-teknik statistika canggih dewasa ini memungkinkan dilakukannya korelasi stratigrafi dari well logs secara otomatis; hal ini pada gilirannya dapat mengurangi subjektivitas dalam korelasi. Ancangan-ancangan tersebut melibatkan rekaman digital atau segmen-segmen log dalam sistem komputasi. Sistem tersebut kemudian memberikan informasi mengenai statistical match. Detil-detil automated well-log correlation dijelaskan oleh Shaw & Cubitt (1978), Griffiths (1982), serta Olea (1988).

KORELASI BERDASARKAN SEISMIC EVENTS

Sebagaimana telah diketahui, metoda seismik didasarkan pada fakta bahwa gelombang elastis yang ditransmisikan ke bawah permukaan akan dipantulkan kembali ke permukaan bumi. Bidang pantul gelombang tersebut merupakan bidang diskontinuitas yang berupa bidang perlapisan atau ketidakselarasan. Mitchum dkk (1977) menegaskan bahwa baik bidang perlapisan maupun ketidakselarasan memiliki kebenaan kronostratigrafi tersendiri. Bidang fisik yang memisahkan individu-individu lapisan, laminae, atau kelompok strata pada hakekatnya merupakan bidang kesamaan waktu (synchronous surface). Hal itu berbeda dengan batas satuan litostratigrafi yang mungkin bukan merupakan bidang kesamaan waktu. Para ahli itu mengasumsikan bahwa meskipun hiatus yang dicerminkan oleh suatu ketidakselarasan mungkin tidak sama dari satu tempat ke tempat lain, namun bagaimanapun juga ketidakselarasan memiliki kebenaan kronostratigrafi karena batuan-batuan yang terletak di atas suatu ketidakselarasan, dimanapun adanya, berumur lebih muda daripada batuan-batuan yang terletak dibawahnya.
Karena gelombang elastis dipantulkan oleh bidang perlapisan atau ketidakselarasan, bukan dari batas satuan lito-stratigrafi, maka pola rekaman seismik dapat digunakan untuk tujuan korelasi kronostratigrafi berskala besar, termasuk di daerah-daerah dimana tidak ada satuan litostratigrafi yang seumur. Seperti telah diketahui, bidang pantul gelombang seismik dapat ditelusuri mulai dari wilayah daratan, melalui sistem paparan, tepi paparan, sistem lereng, hingga dasar laut-dalam. Gambar 7 meluksikan sebuah contoh korelasi kronostratigrafi regional dengan cara menelusuri horizon-horizon pantulan seismik secara lateral. Karena reflektor seismik umumnya tidak berimpit dengan batas satuan litologi, maka pola rekaman seismik tidak dapat digunakan untuk tujuan litokorelasi.

PENERAPAN MAGNETOSTRATIGRAFI DAN PALEOMAGNETISME UNTUK KORELASI

Magnetostratigrafi terutama digunakan sebagai alat korelasi strata marin pada skala global. Korelasi magnetostrati-grafi terutama sangat penting artinya pada saat korelasi paleontologi atau korelasi litologi sukar dilakukan. Magneto-stratigrafi memiliki kebenaan khusus dalam korelasi internasional karena geomagnetic reversals merupakan fenomena yang mencerminkan kesamaan waktu dan berskala global. Hal itu terjadi karena pembalikan medan magnet bumi mem-pengaruhi medan magnet di seluruh dunia dan berlangsung pada waktu yang sama. Karena polarity time scaledapat dikalibrasikan secara radiometrik atau secara paleontologi, maka polarity events berperan sebagai alat korelasi krono-stratigrafi yang sangat baik. Teknik-teknik magnetostratigrafi pertama kali diterapkan untuk korelasi dan penentuan umur batuan yang terlibat dalam analisis anomali-anomali magnet dasar samudra yang bersifat linier dengan penampang-penampang strata vulkanik darat yang telah diketahui umurnya berdasarkan metoda-metoda radiometrik. Teknik-teknik korelasi itu kemudian diperluas hingga mencakup data-data inti bor sedimen laut-dalam.
Hingga dewasa ini, korelasi inti bor sedimen dengan menggunakan magnetic polarity events terutama diterapkan pada pemelajaran sedimen marin yang berumur kurang dari 6 atau 7 juta tahun. Korelasi magnetostratigrafi dahulu hanya dapat dilakukan secara terbatas pada batuan yang sangat muda karena magnetic time scale untuk batuan yang lebih tua dari 7 Ma masih belum dikembangkan oleh para ahli dan karena kebanyakan gravity core dan piston core sedimen dasar samudra tidak dapat menembus cukup dalam untuk dapat mengambil sampel sedimen tua. Detil-detil geomagnetic time scale kemudian dikembangkan hingga mencakup batuan yang berumur 150 atau 160 juta tahun. Selain itu, pengambilan inti bor yang lebih dalam dengan hydraulic piston core dewasa ini memungkinkan diperolehnya undisturbed cores sedimen setua Miosen tengah. Inti-inti bor yang lebih panjang diperoleh selama berlangsungnya Deep Sea Drilling Program dan Ocean Drilling Program. Rotary coring methods mampu mengangkat batuan setua Jura tengah. Walau demikian, rotary cores itu umumnya merupakan disturbed core sehingga kemungkinan besar akan memberikan data paleomagnetisme yang kurang dapat diandalkan. Metoda-metoda paleomagnetisme dewasa ini telah mulai digunakan untuk mengkorelasi-kan penampang-penampang daratan. Dengan demikian, magnetostratigrafi menjadi sebuah alat penting untuk meng-korelasikan strata tua yang ada di darat secara internasional, setelah magnetic polarity time scale dapat diperluas hingga mencakup bagian-bagian skala waktu geologi yang tua.
Gambar 8 memperlihatkan sebuah contoh korelasi paleomagnetisme dalam inti bor sedimen laut-dalam yang relatif muda. Dimulai dengan Brunhes Normal Epoch (polarity chron) pada puncak inti bor, korelasi dapat dilakukan hingga bagian-bagian bawah inti bor berdasarkan pola-pola reverse dan normal polarity. Dengan makin panjangnya inti bor dan makin tuanya sedimen, korelasi makin sukar dilakukan karena rekaman magnetostratigrafi akan terdiri dari banyak himpunan polarirty reversals (gambar 9 dan 10) yang mungkin tampak mirip satu sama lain. Korelasi pola-polareversal itu mungkin memerlukan bukti umur radiometrik atau paleontologi independen untuk menetapkan posisi stratigrafi. Pola-pola paleomagnetic reversals secara khusus sangat bermanfaat untuk korelasi jarak jauh, melewati batas-batas biogeografi, pada saat mana korelasi berdasarkan fosil (fosil planktonik sekalipun) mungkin sukar dilakukan akibat adanya perbedaan-perbedaan dalam mandala biogeografi yang dicirikan oleh kehadiran kumpulan fosil yang berbeda. Gambar 8 memper-lihatkan bahwa paleomagnetic correlation dapat dilaksanakan diantara cekungan-cekungan Samudra Arktik, Pasifik, India, dan Atlantik, yang masing-masing dicirikan oleh sedimen dengan litologi dan kumpulan fosil yang berbeda-beda. Dengan cara yang lebih kurang sama, gambar 11 melukiskan bagaimana penampang-penampang stratigrafi daratan dapat di-korelasikan berdasarkan magnetic polarity reversal stratigraphy.

BIOKORELASI

Satuan biostratigrafi merupakan satuan stratigrafi objektif yang dapat diamati dan ditentukan keberadaannya berdasarkan fosil yang terkandung didalamnya. Karena itu, satuan biostratigrafi dapat ditelusuri dan di-match-kan dari satu tempat ke tempat lain dengan cara yang lebih kurang sama dengan cara penelusuran satuan litostratigrafi. Satuan biostratigrafi bisa maupun tidak bisa memiliki kebenaan waktu. Sebagai contoh, jika ditelusuri ke arah lateral, zona kumpulan (assemblage zone) dan zona puncak (abundance zone) dapat memotong garis-garis waktu. Di lain pihak, zona selang (interval zone), yang terutama ditentukan keberadaannya berdasarkan pemunculan pertama suatu taxa, memiliki batas-batas yang pada umumnya berimpit dengan garis waktu. Satuan biostratigrafi dapat dikorelasikan, tanpa tergantung pada kebenaan waktu-nya, dengan menggunakan prinsip-prinsip yang sangat mirip dengan prinsip-prinsip korelasi litostratigrafi, misalnya ber-dasarkan ke-match-an menurut kandungan fosil dan posisi stratigrafinya. Pada tulisan ini pertama-tama kita akan mempelajari korelasi yang didasarkan pada zona kumpulan dan zona puncak. Setelah itu kita akan mempelajari metoda-metoda biokorelasi yang didasarkan pada zona selang dan zona-zona lain yang menghasilkan korelasi kronostratigrafi.

Korelasi Berdasarkan Zona Kumpulan

Berbeda dengan Oppel assemblage zone, zona kumpulan didasarkan pada pengelompokkan tiga atau lebih taxa tanpa memperhitungkan limit-limit kisarannya. Keberadaan zona tersebut ditentukan oleh urut-urutan flora dan fauna yang berbeda dan zona tersebut berurutan satu di atas yang lain dalam suatu penampang stratigrafi tanpa diselingi oleh rumpang. Zona kumpulan memiliki kebenaan khusus sebagai indikator lingkungan. Zona tersebut, apabila dilihat secara regional, mungkin sangat bervariasi. Karena itu, zona kumpulan cenderung hanya dapat digunakan untuk tujuan korelasi lokal. Walau demikian, sebagian zona kumpulan yang didasarkan pada kumpulan organisma planktonik bahari dapat digunakan untuk korelasi pada wilayah yang lebih luas. Prinsip korelasi berdasarkan zona kumpulan dilukiskan secara sederhana pada gambar 12.
Shaw (1964) menyatakan bahwa batas-batas zona kumpulan pada dasarnya sangat rumit karena di bawah atau di atas limit tersebut akan terdapat zona transisi yang merupakan sebuah tempat dimana sebagian dari karakter zona kumpulan yang terletak dibawahnya telah hilang dan/atau sebagian dari karakter zona kumpulan yang terletak diatasnya masih belum muncul. Karena itu, ada limit praktis yang membatasi tingkat keakuratan zona kumpulan. Sebagian masalah korelasi yang didasarkan pada zona kumpulan muncul dari fakta bahwa jumlah taxa fosil yang harus diteliti oleh seorang ahli biostratigrafi demikian banyaknya sehingga sukar bagi dia untuk mengasimilasikan data yang sangat banyak itu dan untuk menentukan batas-batas zona yang berarti (gambar 13). Untuk mengatasi masalah tersebut, para peneliti di masa lalu cenderung mengurangi jumlah taxa yang akan dipelajari atau mereka mencoba membuat sampel gabungan. Cara pemecahan masalah lain yang baru-baru ini diajukan oleh para ahli adalah dengan menerapkan teknik-teknik analisis statistika multivariat untuk mengenal dan menentukan zona kumpulan. Teknik-teknik itu memberikan dasar rasional kepada seorang ahli biostratigrafi untuk menentukan zona kumpulan berdasarkan sejumlah besar taxa. Detil-detil dari berbagai teknik statistika multivariat itu dijelaskan oleh Hazel (1977), Brower (1981), serta Gradstein dkk (1985).

Korelasi Berdasarkan Zona Puncak

Seperti telah diketahui, zona puncak (abundance zone; acme zone) ditentukan keberadaannya berdasarkan jumlah maksimum relatif dari satu atau lebih spesies, genus, atau taxon lain; bukan berdasarkan kisaran taxon. Zona itu merepresentasikan saat atau saat-saat ketika suatu taxon tertentu berada pada puncak perkembangannya. Sejumlah ahli biostratigrafi pada mulanya menggunakan zona puncak untuk tujuan korelasi kronostratigrafi di bawah asumsi bahwa dalam sejarah suatu taxon terdapat saat-saat dimana taxon itu mencapai kelimpahan maksimum dan bahwa kelimpahan maksimum itu berlangsung pada waktu yang bersamaan di semua belahan bumi. Walau demikian, para ahli biostratigrafi dewasa ini berkeyakinan bahwa sebagian besar zona puncak tidak dapat diyakini kehandalannya dan tidak dapat digunakan sebagai penciri kronostratigrafi yang memuaskan. Pendapat ini didasarkan pada fakta bahwa tidak semua spesies mencapai kelimpahan maksimum atau, jika mencapai kelimpahan maksimum, hal itu belum tentu terekam dalam batuan. Selain itu, kelimpahan maksimum yang terekam dalam rekaman stratigrafi mungkin berkaitan dengan kondisi ekologi yang kondusif dan kondisi seperti itu dapat muncul pada waktu yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain dan keberadaan kondisi seperti itu dapat lebih panjang di suatu tempat daripada di tempat lain. Jadi, kelimpahan maksimum mungkin bersifat lokal dan sporadis. Beberapa masalah yang berkaitan dengan korelasi berdasarkan zona puncak diperlihatkan pada gambar 14. Pendeknya, zona puncak dapat digunakan untuk korelasi biostratigrafi, namun zona itu tidak dapat berperan sebagai sarana korelasi kronostratigrafi yang dapat diandalkan. Meskipun kadang-kadang digunakan untuk tujuan korelasi pada suatu mandala tertentu, para ahli biostratigrafi biasanya lebih menyukai korelasi yang didasarkan pada zona kumpulan atau zona selang.

Kronokorelasi Berdasarkan Fosil

Korelasi kronostratigrafi adalah matching up satuan-satuan stratigrafi berdasarkan kesebandingan waktu. Penentuan ke-sebandingan waktu antar berbagai strata merupakan tulang punggung dari stratigrafi global dan dianggap oleh kebanyak-an ahli stratigrafi sebagai tipe korelasi yang terpenting. Metoda korelasi kronostratigrafi dapat dibedakan menjadi dua kategori: (1) metoda biologi; dan (2) metoda fisika/kimia. Sebagaimana telah diketahui, korelasi kronostratigrafi berdasar-kan metoda biologi terutama didasarkan pada penggunaan concurrent range zones dan zona selang lainnya. Metoda korelasi biologi juga mencakup penelaahan statistik terhadap data zona selang dan pengkorelasikan berdasarkan zona puncak yang merupakan biological events yang berkaitan dengan fluktuasi iklim. Berbagai metoda fisika dan kimia untuk korelasi kronostratigrafi akan dibahas nanti. Secara logika, pembahasan tentang korelasi kronostratigrafi yang didasarkan pada fosil dapat dianggap sebagai bagian dari pembahasan kronokorelasi. Namun, saya memasukkannya disini dengan tujuan agar materi bahasan yang berkaitan dengan fosil dimasukkan dalam bagian yang sama. Pembahasan tentang biokorelasi di bawah ini masih sangat umum. Pembahasan yang lebih mendetil dapat ditemukan dalam karya tulis Gradstein dkk (1985) serta Guex (1991).

Korelasi Berdasarkan Zona Selang

Zona selang adalah biozona yang membagi-bagi strata yang jatuh diantara saat-saat dimana suatu taxon muncul untuk pertama kalinya dan saat-saat dimana suatu taxon hilang untuk pertama kalinya. Hingga dewasa ini dikenal adanya beberapa tipe zona selang, termasuk zona yang dibentuk oleh kisaran taxa yang saling bertumpang-tindih. Gambar 15 melukiskan beberapa cara dimana pemunculan pertama dan pemunculan terakhir suatu taxon dapat digunakan untuk menentukan zona selang. Tipe-tipe zona selang yang dikenal dewasa ini adalah:
¨ Zona selang antara pemunculan pertama dan pemunculan terakhir suatu taxon tunggal. Zona selang seperti ini dikenal dengan sebutan zona kisaran taxon (taxon range zone).
¨ Zona selang antara pemunculan pertama dua taxa yang berbeda atau pemunculan terakhir dari kedua taxa tersebut.
¨ Zona selang antara pemunculan pertama suatu taxon dan pemunculan terakhir taxon yang lain.
¨ Zona selang yang ditentukan oleh zona-zona kisaran yang saling bertumpang tindih. Zona selang seperti ini dikenal dengan sebutan concurrent range zone.
Tipe-tipe zona selang itu memiliki tingkat kegunaan yang berbeda-beda dalam korelasi kronostratigrafi seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.

Zona Kisaran Taxon

Zona kisaran taxon mungkin berguna untuk kronokorelasi jika taxa yang dipakai sebagai dasar penentuannya memiliki kisaran stratigrafi yang pendek. Namun, zona ini tidak terlalu bermanfaat jika taxa yang dipilih sebagai dasar penentuan-nya memiliki kisaran yang panjang (misalnya beberapa jaman). Korelasi berdasarkan zona kisaran taxon seringkali dirujuk sebagai “korelasi berdasarkan fosil penunjuk”. Fosil penunjuk (index fossil) adalah taxon yang memiliki kisaran stratigrafi yang pendek, memiliki penyebaran geografis yang luas, cukup melimpah untuk dapat ditemukan dengan relatif mudah dalam rekaman stratigrafi, dan mudah dikenal. Sayang sekali, istilah fosil penunjuk juga digunakan dengan mendasarkan pada konsep lain dan mengandung konotasi lain. Karena itu, akan lebih jelas apabila kita menyatakan bahwa suatu korelasi didasarkan pada keseluruhan kisaran suatu taxon daripada menyatakannya sebagai korelasi yang didasarkan pada zona kisaran. Korelasi yang didasarkan pada zona kisaran taxon diperlihatkan pada gambar 16.

Zona-Zona Kisaran Lain

Ketika suatu zona kisaran taxon sangat panjang dan, oleh karenanya, korelasi berdasarkan zona kisaran taxon itu tidak sesuai digunakan, korelasi pada skala yang lebih tinggi dapat dilakukan berdasarkan tipe-tipe zona kisaran lain. Zona kisaran yang didasarkan pada pemunculan pertama dua taxa yang berbeda, misalnya saja, sangat bermanfaat dalam korelasi kronostratigrafi mencerminkan perubahan-perubahan evolusioner dan phyletic lineage yang cenderung berlangsung sangat cepat. Jadi, interval antara pemunculan pertama dua taxa kemungkinan merepresentasikan suatu selang waktu yang pendek dan umur dari strata itu kemungkinan hampir sama di setiap tempat. Zona selang yang di-dasarkan pada pemunculan akhir suatu taxon umumnya dianggap memiliki kebenaan waktu yang lebih rendah dibanding zona selang yang didasarkan pemunculan pertama suatu taxon karena kepunahan taxa umumnya tidak berlangsung secara tiba-tiba pada waktu yang bersamaan dan bahwa spesies baru muncul melalui phyletic evolution.
Gambar 16 melukiskan sebagian diantara metoda-metoda yang dapat dipakai untuk mengkorelasikan dua penampang stratigrafi berdasarkan zona selang. Perhatikan bahwa zona-zona selang pada gambar itu mengungkapkan rentang waktu yang jauh lebih pendek dibanding dengan apa yang diungkapkan oleh zona kisaran individu taxon. Korelasi juga dapat dilakukan berdasarkan pemunculan awal atau pemunculan akhir suatu taxon tertentu atau beberapa taxa, tanpa harus mengkorelasikan seluruh zona yang ada. Dengan kata lain, sebuah garis korelasi dapat digambarkan dari posisi stratigrafi yang menyatakan pemunculan pertama suatu taxon tertentu pada suatu penampang, atau yang biasa disebut sebagai datum pemunculan pertama (first appearance datum, FAD), dengan FAD yang sama pada penampang stratigrafi lain. Demikian pula, korelasi dapat dilakukan antara datum-datum pemunculan terakhir (last appearance datum, LAD) dari suatu taxon tertentu.

Metoda Grafis untuk Mengkorelasikan Zona Kisaran Taxon

Meskipun zona selang dapat digunakan sebagai batasan untuk menyatakan satuan strata yang diendapkan pada suatu rentang waktu yang relatif pendek, namun tidak dapat digunakan untuk korelasi kronostratigrafi mendetil. Organisme dapat bermigrasi secara lateral untuk kemudian muncul di tempat lain pada waktu yang berbeda dengan pemunculan yang sebenarnya dari organisme tersebut (gambar 17) atau punah di tempat baru itu. Variabel-variabel tingkah laku organisme seperti itu menyebabkan batas-batas zona selang secara inherent bersifat “fuzzy.” Batas eksak dari biozona tidak akan pernah dapat diketahui karena batas itu ditentukan secara empiris. Setiap saat selalu mungkin terjadi pelebar-an batas kisaran suatu taxon atau taxa sejalan dengan munculnya hasil-hasil penelitian baru. Salah satu cara untuk meminimalkan masalah fuzzy zonal boundaries ialah dengan menerapkan metoda-metoda statistika dalam menangani data biostratigrafi yang berupa data pemunculan awal dan pemunculan akhir semua spesies dalam suatu penampang stratigrafi; bukan hanya kisaran dari satu atau dua spesies saja. Shaw (1964) adalah orang yang pertama kali mengusul-kan metoda grafis untuk menetapkan kesebandingan waktu antar berbagai strata yang ada dalam dua penampang strati-grafi dengan cara merajahkan data-data pemunculan awal dan pemunculan akhir semua spesies yang ada pada suatu penampang terhadap data-data pemunculan awal dan pemunculan akhir berbagai spesies itu pada penampang stratigrafi lain. Dewasa ini, metoda tersebut digunakan secara luas oleh para ahli stratigrafi untuk melakukan korelasi kronostratigrafi mendetil antar berbagai penampang stratigrafi, khususnya penampang-penampang lokal.
Metoda yang digunakan oleh Shaw (1964), yang kemudian disempurnakan oleh Miller (1977), pertama-tama dilakukan dengan cara memilih suatu penampang stratigrafi sebagai penampang rujukan (reference section). Penampang itu merupakan penampang paling tebal, bebas dari pengaruh sesar atau struktur lain, dan mengandung banyak fosil (baik jumlah maupun variasinya). Penampang rujukan diukur dan diambil sampelnya selengkap mungkin, kemudian posisi FAD dan LAD dari setiap spesies pada penampang itu dicatat, misalnya pada meter ke berapa suatu spesies muncul untuk pertama kali dan pada meter ke berapa pula spesies itu hilang. Kisaran stratigrafi dari suatu spesies seperti yang terlihat dari FAD dan LAD pada penampang itu mungkin bukan merupakan kisaran stratigrafi total dari spesies tersebut. Walau demikian, seperti yang akan kita lihat nanti, fakta itu tidak menghalangi pemakaiannya dalam korelasi. Setelah itu, kita pilih penampang stratigrafi kedua untuk dibandingkan dengan penampang rujukan. Pada penampang itu, kita juga meneliti semua spesies dan kemudian menentukan FAD dan LAD mereka pada penampang tersebut (gambar 18).
Setelah itu, kita menggambarkan sebuah grafik yang dibuat sedemikian rupa sehingga penampang rujukan (misalnya saja penampang A) ditempatkan pada sumbu horizontal dari grafik tersebut, sedangkan penampang kedua (misalnya saja penampang B) ditempatkan pada sumbu vertikal (gambar 19). FAD dan LAD dari setiap spesies pada penampang A kemudian diplot terhadap FAD dan LAD dari setiap spesies yang sama pada penampang B. Pada gambar 18, sebagai contoh, spesies 1 dalam penampang A muncul pada 93 m di atas dasar penampang, sedangkan dalam penampang B muncul pada 47 m di atas dasar penampang tersebut. Selanjutnya, suatu titik dapat digambarkan pada grafik tadi untuk menyatakan nilai tersebut. Hal yang sama dilakukan untuk FAD dan LAD dari spesies lain. Prosedur ini akhirnya akan menghasilkan sejumlah titik yang cenderung untuk mengumpul pada suatu zona tertentu (gambar 19). Selanjutnya kita menggambarkan sebuah garis yang merupakan “best-fit” line untuk titik-titik data tersebut. Pembuatan garis itu dapat dilakukan dengan menggunakan metoda regresi statistika. Koordinat x dan y dari setiap titik pada garis itu akan memberi-kan suatu korelasi kronostratigrafi yang mendetil antara kedua penampang tadi. Pada gambar 19, misalnya saja, sebuah lapisan yang terletak 60 m di atas dasar penampang A berkorelasi dengan lapisan lain yang terletak 30 m di atas dasar penampang B, sedangkan lapisan yang terletak 100 m di atas dasar penampang A berkorelasi dengan lapisan lain yang terletak 49 m di atas dasar penampang B.
FAD dan LAD dari berbagai spesies yang dinyatakan dengan titik-titik dalam gambar 18 mengindikasikan bahwa pemunculan dan kepunahan berbagai spesies pada penampang A berbeda dengan pemunculan dan kepunahannya pada penampang B. Hal itu mungkin terjadi karena faktor-faktor lingkungan (dengan kata lain berbagai spesies itufacies dependent) atau karena migrasi antara penampang A dan B tidak dapat berlangsung karena adanya halangan-halangan biogeografi (biogeographic barriers).
Kehadiran endapan yang mengindikasikan physical events atau isotopic events yang memiliki kebenaan krono-stratigrafi bisa dimanfaatkan dalam metoda grafis itu, dimana kehadiran endapan itu dapat digunakan untuk membuktikan kesahihan best-fit line. Jika garis itu benar, maka posisi stratigrafi endapan tersebut pada kedua penampang itu akan tepat terhubungkan oleh garis tersebut.
Selain bermanfaat untuk mengkorelasikan penampang stratigrafi, metoda grafis juga merupakan sebuah alat handal untuk mengevaluasi perbedaan laju sedimentasi pada berbagai penampang atau untuk mendeteksi kehadiran hiatus. Kemiringan dari best-fit line mengindikasikan laju sedimentasi relatif antara dua daerah yang diwakili oleh kedua penampang yang dihubungkan. Jika terjadi perubahan kemiringan best-fit line (gambar 20), perubahan itu mengindikasi-kan terjadi peningkatan atau penurunan laju sedimentasi relatif. Perubahan kemiringan pada posisi sekitar 80 m di atas dasar penampang B pada gambar 20, misalnya saja, mengindikasikan peningkatan laju sedimentasi pada penampang A dibandingkan dengan laju sedimentasi pada penampang B. Kehadiran hiatus pengendapan dalam suatu penampang akan diperlihatkan sebagai suatu segmen garis mendatar pada best-fit curve(gambar 21).
Metoda korelasi grafis tidak saja digunakan untuk mengkorelasikan dua penampang lokal, namun dapat diperluas dengan cara mengkorelasikan suatu penampang dengan penampang lain sedemikian rupa sehingga akan diperoleh sebuah penampang gabungan yang oleh Shaw (1964) dinamakan composite standard reference section. Penampang yang disebut terakhir ini dapat digunakan untuk kronokorelasi regional, bahkan mungkin global. Dalam suatu penampang rujukan yang terpilih, kisaran dari beberapa spesies fosil mungkin merupakan kisaran stratigrafi maksimum. Fosil-fosil lain akan memiliki kisaran yang tidak lengkap karena faktor-faktor lingkungan atau biogeografi seperti telah dikemukakan di atas atau akibat masalah pengawetan. Tujuan pembuatan composite standard reference section adalah untuk menetap-kan kisaran total dari setiap spesies atau taxon dengan menggabungkan informasi dari sejumlah penampang yang sebanding. Puncak dan dasar dari kisaran stratigrafi setiap taxon disempurnakan dalam composite standard reference section dengan cara mengkorelasikannya dengan penampang-penampang lain hingga akhirnya diperoleh suatu titik pemunculan awal yang paling rendah dan titik pemunculan akhir yang paling tinggi. Titik-titik itu menandai saat-saat spesiasi (evolutionary first appearance) dan kepunahan global dari setiap taxon. Setelah kisaran total dari setiap taxon dapat ditentukan dan composite standard reference section telah dapat ditetapkan, maka kita akan dapat melakukan korelasi kronostratigrafi pada skala regional dan global.

Korelasi Biogeographical Acme Zone

Di atas telah dikemukakan bahwa korelasi yang didasarkan pada zona puncak tidak dapat diandalkan untuk korelasi kronostratigrafi karena keberadaan zona puncak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan umur suatu zona berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Ada suatu ancangan lain yang dapat digunakan pada zona puncak untuk menghasilkan sebuah diagram korelasi yang memiliki kebenaan kronostratigrafi tersendiri. Ancangan itu didasarkan pada kelimpahan maksimum suatu taxon yang sensitif terhadap perubahan lingkungan (Haq & Worsley, 1982). Karena temperatur samudra berbeda-beda sehubungan dengan posisi lintangnya, sebagian spesies atau taxa akan menempati suatu mandala biogeografi yang batas-batasnya ditentukan oleh posisi lintang dari mandala tersebut. Demikian sebaliknya. Di lain pihak, perubahan-perubahan iklim dapat menyebabkan terjadinya pergeseran zona-zona temperatur di samudra dan, pada gilirannya, akan menyebabkan bermigrasinya sejumlah spesies dari mandala asalnya ke mandala lain yang lebih sesuai untuk kehidupannya. Selama berlangsungnya glasiasi besar, misalnya saja, taxa lintang-tinggi (high-latitude taxa)berekspansi menuju wilayah lintang rendah dan selama jenjang antar jaman es, taxa lintang-rendah (low-latitude taxa) berekspansi hingga mencapai wilayah lintang tinggi. Dilihat dari kacamata geokronologi, penyebaran sejumlah spesies tertentu sebagai tanggapan terhadap fluktuasi iklim berskala besar pada hakekatnya menyatakan sebuah proses yang berlangsung dalam waktu yang sama.
Dengan demikian, perpindahan taxa planktonik yang berkaitan dengan iklim pada waktu-waktu tertentu menghasilkan biogeographical acme events yang dapat dikorelasikan dari satu tempat ke tempat lain. Pada setiap inti bor atau singkap-an yang dipelajari, kurva iklim direkonstruksikan berdasarkan persentase taxa iklim dingin dan taxa iklim panas atau kelimpahan relatif dari suatu taxon tertentu. Kurva-kurva itu kemudian dapat dipakai untuk mengidentifikasikan episode-episode pasan (warming) dan dingin (cooling) yang dapat dikorelasikan dari satu penampang ke penampang lain. Gambar 22, yang direkonstruksikan berdasarkan informasi seperti itu, melukiskan bagaimana perpindahan kumpulan calcareous nannoplankton di Atlantik Utara selama Miosen dapat dipakai untuk kronokorelasi antar berbagai inti bor yang diperoleh dari DSDP.
Ancangan lain yang berkaitan erat dengan ancangan di atas adalah kronokorelasi yang didasarkan pada coiling ratioforaminifera planktonik (Eicher, 1976). Cangkang foraminifera tertentu yang terdiri dari beberapa kamar diketahui akan mengulir pada suatu arah tertentu ketika spesies itu hidup di wilayah perairan yang hangat dan akan mengulir pada arah sebaliknya ketika hidup di wilayah perairan yang dingin. Globorotalia truncatulinoides, misalnya saja, pada umumnya memperlihatkan penguliran ke kanan ketika hidup pada wilayah perairan yang hangat dan penguliran ke kiri ketika hidup pada wilayah perairan yang dingin. Gambar 23 memperlihatkan bahwa selama berlangsungnya jaman es Plistosen, populasi Globorotalia truncatulinoides mengulir ke kanan yang hidup di daerah lintang rendah dan lintang tengah diganti-kan oleh populasi Globorotalia truncatulinoides mengulir ke kiri. Perubahan-perubahan dalamcoiling ratio dari spesies foraminfera tertentu merupakan sarana untuk mengkorelasikan fluktuasi perubahan iklim jangka pendek selama Plistosen, peristiwa mana pada hakekatnya berlangsung pada waktu yang bersamaan, paling tidak pada suatu bagian samudra.
Kelemahan utama dari metoda korelasi ini adalah, karena didasarkan pada tanggapan biologis terhadap fluktuasi iklim, maka pemakaiannya menjadi terbatas yakni hanya dapat diterapkan pada sedimen-sedimen yang diendapkan selama Kuarter dan Tersier Akhir, selama mana beberapa episode dingin dan panas berlangsung di samudra. Walau demikian, metoda tersebut menjadi alat bantu yang bermanfaat untuk metoda-metoda korelasi yang didasarkan pada isotop oksigen (lihat di bawah) yang juga melibatkan fluktuasi iklim pada Tersier Akhir dan Kuarter.

KRONOKORELASI

Satuan kronostratigrafi sangat penting artinya dalam stratigrafi karena menjadi dasar untuk korelasi regional hingga global berdasarkan kesebandingan waktu. Di atas telah dibahas bahwa kronokorelasi adalah korelasi yang menyatakan korespondensi umur dan posisi kronostratigrafi dari satuan-satuan stratigrafi. Bagi banyak ahli geologi, korelasi yang didasarkan pada kesebandingan umur merupakan tipe korelasi terpenting dan kronokorelasi merupakan satu-satunya tipe korelasi yang dapat digunakan berdasarkan hal-hal yang sifatnya global. Metoda-metoda untuk menetapkan kesebanding-an umur strata berdasarkan teknik-teknik magnetostratigrafi, seismik stratigrafi, dan biologi telah dibahas di atas. Sejumlah metoda kronostratigrafi lain juga sering digunakan, termasuk korelasi yang didasarkan pada depositional eventstransgressive-regressive events, dan stable isotope events, dan umur absolut.

Event Correlation and Event Stratigraphy

Event correlation merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai event stratigraphyEvent stratigraphymemfokus-kan diri pada specific events dalam suatu satuan stratigrafi atau suatu lintap batuan, bukan pada karakter fisik atau karakter biologinya. Sebagai contoh, peningkatan muka air laut eustatik dapat mempengaruhi pola sedimentasi di seluruh belahan bumi. Akibat peristiwa tersebut, terbentuk fasies sedimen dalam berbagai tipe lingkungan yang semuanya meng-indikasikan kejadian itu. Apabila dilihat dari karakter fisiknya, fasies yang terbentuk pada suatu lingkungan kemungkinan tidak ekivalen dengan fasies yang terbentuk pada lingkungan lain. Namun, semua fasies itu ekivalen dalam arti kata semuanya terbentuk oleh peristiwa yang sama. Dengan demikian, semua fasies itu, secara kronologi, adalah sebanding.
Event memiliki skala yang berbeda-beda, tergantung pada durasi, intensitas, dan efek-efek geologi yang ditimbulkan-nya. Beberapa convulsive event (mis. letusan gunungapi, tumbukan benda angkasa dengan permukaan bumi, gempabumi besar, banjir katastrofis, badai besar, dan tsunami besar) sangat energik, berlangsung sangat cepat, dan memiliki pengaruh regional. Events seperti itu dapat menimbulkan efek-efek yang luas, termasuk punahnya organisme. Karena besarannya, endapan dari peristiwa-peristiwa itu dapat membentuk suatu bagian penting dari rekaman geologi. Bahkan, rekaman stratigrafi sebenarnya cenderung untuk mengindikasikan jejak-jejak gangguan berskala besar (Seilacher, 1992). Di lain pihak, produk suatu peristiwa tertentu mungkin tidak terawetkan dengan cukup baik dalam rekaman geologi untuk dapat dikenal sebagai suatu event marker (Clifton, 1988) dan, oleh karenanya, kesamaan umur dari event deposits di suatu daerah dengan event deposits di daerah lain mungkin tidak mudah untuk diketahui. Peristiwa-peristiwa lain ber-langsung dengan lebih lambat dan menghasilkan lintap stratigrafi yang penting dan mungkin dapat dengan relatif mudah dikenal dari satu tempat ke tempat lain. Contoh dari peristiwa seperti itu adalah penaikan dan penurunan muka air laut yang menghasilkan lintap transgresi-regresi.

Korelasi Berdasarkan Short-Term Depositional Events

Korelasi yang dilakukan berdasarkan short-term geologic event markers disebut event correlation. Beberapa peristiwa menghasilkan lapisan kunci yang dapat ditelusuri dari satu tempat ke tempat lain hingga jarak yang jauh. Lapisan kunci sangat bermanfaat untuk korelasi kronostratigrafi, dan untuk korelasi litostratigrafi, jika diendapkan sebagai produk geologic event yang pada hakekatnya berlangsung “seketika”. Short-term depositional event yang paling menakjubkan adalah jatuhan debu vulkanik yang dapat terjadi dalam rentang waktu 1-10 hari (gambar 24). Lapisan yang disusun oleh debu jatuhan disebut lapisan debu (ash layer), lapisan tefra (tephra layer), lapisan bentonit (bentonite bed) jika debu itu telah terubah menjadi lempung bentonit, atau lapisan tuf (tuff layer). Debu jatuhan dari suatu letusan tunggal dapat meng-hasilkan lapisan yang tebalnya beberapa centimeter serta dapat menutupi ribuan hingga ratusan ribu kilometer persegi. Sebagai contoh, debu letusan Mt Mazama di bagian tenggara Oregon pada 6500-7000 tahun yang lalu diangkut oleh angin ke arah timurlaut dan diendapkan hingga daerah Saskatchewan dan Manitoba (Canada). Debu hasil letusan Mt St Helens pada 1980 juga menyebar hingga melingkupi suatu wilayah yang luasnya ribuan kilometer persegi dan terletak di sebelah timur dan utara gunung tersebut. Contoh lain adalah debu letusan Gunung Quizapu (Chile) pada 1932 yang terangkut ke arah timur sejauh 1500 km, menuju Samudra Atlantik. Endapan debu yang lebih hebat lagi, yang ditemukan hampir di seluruh permukaan bumi, dihasilkan oleh letusan Gunung Krakatau pada 1883.
Lapisan tefra merupakan rujukan penting dalam penampang stratigrafi. Lapisan itu menjadi sarana untuk menyusun kronokorelasi yang dapat diandalkan jika memiliki pelamparan yang luas dan jika mudah dikenali sebagai produk satu letusan gunungapi tertentu. Pengenalan individu lapisan debu atau lapisan bentonit seringkali dilakukan berdasarkan karakter petrografinya (tipe mineral, fragmen batuan, glass shards, atau komponen lain) atau berdasarkan komposisi unsur jejaknya. Umur lapisan tersebut dapat ditentukan dengan metoda radioaktif sehingga memungkinkan lapisan itu dapat dikenal dan dikorelasikan lebih mudah lagi. Lapisan tefra terutama sangat bermanfaat dalam korelasi cekungan bahari, namun dapat juga digunakan untuk mengkorelasikan lapisan debu yang ada dalam cekungan bahari dengan aliran lava atau lapisan debu yang ditemukan di darat.
Arus turbid merupakan tipe geologic event lain yang praktis berlangsung “seketika” dan dapat menghasilkan lapisan tipis yang tersebar luas. Turbidit dapat memiliki kebenaan kronostratigrafi tersendiri jika suatu lapisan turbidit, atau suatu lintap turbidit, dapat dikenal dan ditelusuri keberadaannya dari satu tempat ke tempat lain. Sayang sekali, sebagian besar turbidit merupakan satuan mendaur sehingga tampak mirip satu dan seringkali sukar dibedakan satu sama lain. Karena itu, dalam prakteknya, kegunaan turbidit dalam korelasi kronostratigrafi jadi agak terbatas. Gambar 25 memperlihatkan sebuah contoh dimana suatu lapisan tuf atau tefra dapat berperan sebagai horizon penciri kronostratigrafi yang dapat dikenal dan dikorelasikan dari satu sumur ke sumur lain di Ventura Basin, California. Satuan-satuan turbidit dan endapan laut-dalam lain yang ada dalam sumur-sumur itu dapat dikorelasikan berdasarkan posisi relatifnya terhadap horizon tuf. Tanpa adanya lapisan penunjuk itu, satuan-satuan turbidit itu agaknya tidak akan dapat dikorelasikan.
Tipe “catastrophic” short-term geologic event lain adalah badai debu yang menghasilkan endapan loess berbutir halus di daratan atau lapisan-lapisan lanau-pasir dalam cekungan samudra. Badai yang terjadi di laut dapat mengolak dan mengangkut sedimen paparan untuk kemudian menghasilkan lapisan-lapisan lanau atau pasir tipis yang merupakan “storm layers”. Pembentukan horizon mikrotektit (microtektite horizon) atau horizon mikrometeorit(micrometeorite horizon) di laut-dalam juga dapat memiliki kebenaan kronostratigrafi tersendiri (Glass & Zwart, 1979).
Kondisi pengendapan non-katastrofis dan berlangsung relatif lambat juga dapat menghasilkan lapisan penciri yang khas, tipis, dan tersebar luas. Pengendapan lapisan seperti itu tidak harus berlangsung “seketika”. Walau demikian, lapisan itu dapat digunakan untuk korelasi kronostratigrafi jika terbentuk sebagai produk proses pengendapan yang berlangsung di sebagian besar cekungan selama rentang waktu yang relatif pendek di bawah kondisi-kondisi peng-endapan yang pada hakekatnya seragam. Sebagai contoh, suatu lapisan batugamping tipis yang tersebar luas dan terletak dalam lintap yang didominasi oleh serpih atau lanau mengimplikasikan bahwa pengendapan batugamping itu berlangsung di bawah kondisi-kondisi yang pada hakekatnya bersifat simultan. Suatu lapisan batugamping yang terletak dalam lintap endapan klastika non-marin, merepresentasikan kondisi bahari singkat di daerah yang hampir selalu merupakan lingkungan non-marin itu atau merepresentasikan berlangsungnya penggenangan daerah tersebut oleh air tawar sedemikian rupa sehingga untuk suatu selang waktu yang singkat wilayah itu merupakan sebuah danau dangkal. Batugamping tipis dalam lintap endapan klastika marin yang tebal kemungkinan mengindikasikan terjadinya pengendapan karbonat di wilayah paparan pada suatu rentang waktu yang pendek, sewaktu detritus klastika terjebak secara temporer dalam lingkungan estuarium atau delta sedemikian rupa sehingga menyebabkan terhalangnya pengangkutan material tersebut ke wilayah paparan. Sebaliknya, kehadiran perselang-selingan pasir, lempung, atau lanau dalam suatu lintap batuan karbonat atau evaporit yang tebal kemungkinan mengindikasikan masuknya material detritus secara temporer ke dalam cekungan karbonat atau evaporit. Peristiwa yang disebut terakhir ini mungkin disebabkan oleh peningkatan pasokan material detritus secara tiba-tiba sehubungan dengantectonic event, banjir periodik di daratan, atau peng-endapan oleh badai atau arus turbid. Lapisan evaporit yang tipis, menerus, dan tersebar luas juga dapat memiliki kebenaan kronostratigrafi tersendiri karena lapisan itu merepresentasikan proses pengendapan yang hampir simultan.

Event Correlation berdasarkan Transgressive-Regressive Event

Acangan lain untuk event correlation didasarkan pada posisi suatu batuan dalam lintap atau daur transgresi-regresi (Ager, 1981). Menurut Ager (1981), event correlation dalam kasus tersebut didasarkan pada korelasi puncak-puncak daur sedimen yang diasumsikan mengindikasikan umur yang sama. Aspek yang digunakan dalam korelasi ini merupakan produk transgresi-regresi yang kemungkinan merepresentasikan terjadinya perubahan muka air laut eustatik di seluruh muka bumi atau perubahan muka air laut lokal sebagai akibat pengangkatan, subsidensi, atau fluktuasi pasokan sedimen.
Prinsip-prinsip korelasi yang didasarkan pada transgressive-regressive events dilukiskan pada gambar 26. Endapan suatu daur transgresi-regresi mengandung satu bidang waktu khusus yang merepresentasikan waktu penggenangan maksimum oleh laut, yakni waktu pada saat mana kedalaman di setiap tempat mencapai nilai maksimum. Batuan-batuan yang secara stratigrafi terletak di bawah bidang waktu itu diendapkan selama berlangsungnya transgresi, sedangkan batuan-batuan yang terletak diatasnya diendapkan selama berlangsungnya regresi. Seperti terlukis pada gambar 26, posisi bidang waktu itu dapat diketahui dari data fosil yang digunakan untuk menentukan zonasi kedalaman dan kedalam-an maksimum pada berbagai tempat. Posisi bidang waktu itu dapat juga ditentukan dari bukti-bukti litologi dengan cara menentukan posisi dimana batuan-batuan yang ada dalam sejumlah penampang memiliki penyebaran simetris, relatif terhadap fasies yang diendapkan paling jauh dari daratan. Bidang yang menghubungkan batuan-batuan yang diendapkan paling jauh dari daratan merupakan bidang pendekatan untuk bidang waktu tersebut di atas dan, oleh karenanya, merupa-kan garis korelasi kronostratigrafi diantara penampang-penampang tersebut. Gambar 27 melukiskan lebih jauh mengenai metoda korelasi tersebut. Perhatikan cara titik-titik ekivalen-waktu pada daur itu dihubungkan sedemikian lupa sehingga lempung glaukonitik pada ujung timur disamakan dengan lapisan berlaminasi di ujung barat daur tersebut. Korelasi dengan cara seperti ini dapat dianggap sebagai bagian dari sekuen stratigrafi.

Korelasi Berdasarkan Stable Isotope Events

Variasi kelimpahan relatif isotop-isotop nonradioaktif-stabil tertentu dalam sedimen bahari dan fosil dapat digunakan sebagai alat kronokorelasi. Bukti-bukti geokimia menunjukkan bahwa komposisi isotop-isotop oksigen, karbon, belerang, dan stronsium di samudra mengalami fluktuasi yang hebat atau “ber-ekskursi” di masa lalu. Fluktuasi itu terekam dalam sedimen bahari. Karena pencampuran di samudra berlangsung dalam rentang waktu 1000 tahun atau kurang, maka marine isotopic excursion dianggap berlangsung dalam rentang waktu yang praktis sama di seluruh dunia. Variasi komposisi isotop dalam sedimen atau fosil memungkinkan para ahli geokimia untuk merekonstruksikan isotopic composition curve yang dapat digunakan sebagai stratigraphic marker untuk tujuan korelasi. Agar dapat bermanfaat dalam korelasi, fluktuasi komposisi isotop itu harus dapat dikenal pada skala global dan harus berlangsung dalam rentang waktu yang singkat sedemikian rupa sehingga akan tampak sebagai suatu “kick” dalam kurva komposisi isotop. Selain itu, para ahli stratigrafi harus dapat menetapkan posisi stratigrafi relatif dari fluktuasi tersebut dalam kaitannya dengan skala biostratigrafi, paleomagnet, atau radiometrik. Diantara berbagai isotop yang potensial, isotop-isotop oksigen tampaknya mendekati tuntutan tersebut di atas dan terbukti sangat bermanfaat untuk kronokorelasi sedimen Tersier dan Kuarter. Isotop-isotop karbon, belerang, dan stronsium juga berguna untuk mengkorelasikan batuan-batuan dengan umur tertentu.

Isotop-Isotop Oksigen

Isotop-isotop oksigen alami diperlihatkan pada tabel 1. Sebagian besar oksigen di samudra muncul sebagai 16O. Kelimpahan 18O jauh lebih sedikit (hanya sekitar 0.2% dari oksigen total), namun masih dapat diukur. Nisbah18O/16O di samudra pada suatu waktu di masa lalu terekam dalam mineral karbonat dan cangkang organisme bahari yang disusun oleh CaCO3. Dengan demikian, fluktuasi nisbah isotop oksigen di samudra dari waktu ke waktu akan tampak dalam rekaman geologi sebagai fluktuasi nisbah isotop-isotop tersebut dalam batuan karbonat dan fosil bahari. Klasifikasi sedimen laut-dalam berdasarkan nisbah isotop oksigen dalam cangkang organisma bahari gampingan, khususnya foraminifera, telah melahirkan suatu metoda stratigrafi baru untuk sedimen Kuarter. Metoda stratigrafi itu biasa disebut stratigrafi isotop oksigen (oxygen isotope stratigraphy). Metoda itu diperkenalkan pertama kali oleh Emiliani (1955) yang mempelajari komposisi isotop oksigen dalam cangkang foraminifera dan menggunakan nisbah isotop oksigen untuk membagi sedimen yang ditemukan dalam sejumlah inti bor laut-dalam. Stratigrafi isotop oksigen dewasa ini dikembang-kan menjadi alat utama untuk mengkorelasikan lintap bahari Tersier dan Kuarter.
Nisbah 18O/16O dalam karbonat bahari biogenik mencerminkan temperatur dan nisbah 18O/16O dari air laut dimana karbonat itu terbentuk. Hubungan antara palaeotemperatur (T; dalam satuan oC) terhadap komposisi isotop disajikan oleh Shackleton (1967) sbb:
clip_image002
dimana δc = komposisi isotop oksigen dari kalsit
δw = komposisi isotop oksigen dari air yang menjadi wahana dimana kalsit itu dipresipitasikan
Notasi δc dan δw tidak merujuk pada kelimpahan oksigen yang sebenarnya dalam kalsit dan air, melainkan deviasi nisbah 18O/16O (satuannya ppm) dalam kalsit dan air, relatif terhadap nilai standar tertentu. Standar isotop oksigen yang diguna-kan di masa lalu ialah PDB standard yang dikeluarkan oleh University of Chicago, dimana PDB menyatakan suatu fosil belemnit yang diambil dari Pee Dee Formation di South Carolina. Dewasa ini, komposisi isotop air laut (Standard Mean Ocean Water, SMOW) digunakan sebagai standar untuk tujuan tersebut di atas (a.l. Coplen dkk, 1983). Deviasi dari standar, yang dinyatakan sebagai δ18O, diperoleh dari persamaan sbb:
clip_image004
Stratigrafi isotop oksigen didasarkan pada fakta bahwa nilai δ18O dalam kabonat biogenik bahari mencerminkan temperatur dan komposisi isotop air yang merupakan sumber dari kalsit. Faktor-faktor itu, pada gilirannya, merupakan fungsi dari iklim. Ketika air yang ada di permukaan laut menguap, isotop 16O yang relatif ringan cenderung ikut menguap dalam bentuk uap air, sedangkan isotop 18O cenderung tetap ada dalam air laut. Dengan demikian, proses fraksinasi isotop itu menyebabkan uap air memiliki kadar 18O yang lebih rendah dibanding air laut. Selain itu, ketika uap air itu ter-kondensasi menjadi hujan atau salju, uap air yang mengandung oksigen berat akan cenderung terpresipitasikan pertama kali sedemikian rupa sehingga uap air yang telah terkondensasikan sebagian itu akan memiliki kadar 18O yang lebih rendah dibanding uap air yang belum terkondensasikan. Dengan demikian, air yang dipresipitasikan di dekat pantai dan yang cepat masuk kembali ke laut akan mengandung oksigen yang lebih berat dibanding dengan air yang dipresipitasikan pada tempat yang relatif jauh dari laut atau yang dipresipitasikan di daerah kutub, di tempat mana air itu akan kembali dengan laju yang lebih lambat dibanding air yang ada di wilayah pantai. Selain itu ada juga korelasi antara temperatur air dengan nisbah 18O/16O dari presipitat: makin dingin airnya, makin ringan hujan atau salju yang yang dihasilkannya (Odin dkk, 1982). Sebagai contoh, komposisi isotop oksigen rata-rata dari air laut adalah –0,28‰, sedangkan presipitasi yang jatuh pada puncak-puncak tudung es di Greenland adalah sekitar –0,35‰ dan pada bagian-bagian tudung es Antartika yang jarang didatangi manusia adalah sekitar –0,58‰.
Embun yang kekurangan 18O dan jatuh di daerah kutub akan tersimpan dalam es yang ada di daratan sedemikian rupa sehingga isotop itu tidak cepat kembali ke samudra. Karena itu, selama berlangsungnya jaman es, laut makin lama makin kaya akan 18O. Karbonat bahari, khususnya karbonat biogenik, yang terpresipitasikan di samudra selama jaman es akan mengalami pengayaan 18O, relatif terhadap presipitat lain yang terbentuk pada iklim panas, presipitat yang terbentuk sewaktu tidak ada tudung es, atau presipitat yang terbentuk di daratan. Dengan demikian, perubahan-perubahan nilai 18O dari kalsit biogenik bahari mencerminkan perubahan-perubahan volume es daratan.
Penurunan temperatur air laut di yang menjadi tempat presipitasi kalsit biogenik juga menyebabkan meningkatnya nilai δ18O dalam kalsit. Jadi, selama berlangsungnya jaman es, penurunan air laut dan perubahan komposisi isotop air laut yang disebabkan oleh berkembangnya tudung es benua secara bersama-sama menyebabkan meningkatnya nilai δ18O dalam kalsit biogenik. Sebaliknya, pelelehan tudung es kutub, yang menyebabkan kembalinya oksigen ringan ke samudra, dan peningkatan temperatur samudra akan tercermin dengan menurunnya nilai 18O dalam karbonat biogenik bahari.
Sebagaimana diperlihatkan pada gambar 28, nisbah isotop-isotop oksigen dalam cangkang berbagai jenis organisme bahari cenderung berbeda-beda. Karena itu, untuk mengevaluasi perubahan-perubahan isotop oksigen di samudra sebagai fungsi dari waktu, kita harus menganalisis jenis fosil organisme yang sama. Foraminifera plankton merupakan jenis fosil yang paling sering digunakan untuk pemelajaran isotop oksigen.
Pemelajaran isotop oksigen dalam inti bor Tersier akhir hingga Kuarter memperlihatkan kehadiran berbagai maksima dan minima nilai δ18O. Pada gambar 29 tampak ada tiga inti bor yang memperlihatkan terjadinya perubahan-perubahan nilai δ18O dari waktu ke waktu di Samudra Pasifik dan Samudra Atlantik (Wei, 1993). Angka-angka yang terletak di samping kurva adalah oxygen isotope stage numbers (a.l. Kennett, 1982; Ruddiman dkk, 1989; Raymo dkk, 1989). Apabila tersedia, magnetostratigraphic chrons juga diperlihatkan bersama-sama dengan kurva tersebut. Setelah isotope stages dalam suatu inti bor dapat dikenal dan diberi nomor, mereka dapat dikorelasikan denganisotope stages yang ada pada inti bor lain. Isotope events itu agaknya berkaitan dengan daur iklim-orbit Milankovitch. Dengan demikian, isotope events merupakan rekaman daur orde-4 dan orde-5 yang diperkirakan dipicu oleh perubahan-perubahan iklim sehubungan dengan terjadinya perubahan-perubahan parameter orbit bumi. Perubahan-perubahan orbit bumi itu terjadi karena adanya fluktuasi intensitas radiasi sinar matahari yang sampai pada bagian-bagian bumi sesuai dengan posisi lintangnya yang, pada gilirannya, menyebabkan terakumulasinya dan terlelehkannya tudung es benua serta menyebabkan naik-turunnya muka air laut.

Isotop-Isotop Karbon

Karbon-12 dan karbon-13 adalah isotop karbon yang tidak bersifat radioaktif. Karbon-12 jauh lebih banyak dibanding karbon-13. Karbon-12 merupakan isotop karbon yang paling banyak ditemukan dalam air laut (tabel 1). Nisbah isotop 13C/12C dapat dinyatakan sebagai deviasi (δ13C), dengan satuan per mil, terhitung dari PDB belemnite standard. Jadi, hal itu mirip dengan ungkapan nisbah isotop-isotop oksigen. Nilai δ13C dalam karbonat bahari menyatakan nisbah 13C/12C dari CO2 yang larut dalam air laut; nisbah itu, pada gilirannya, mencerminkan sumber karbon dalam CO2. Karbon dioksida terlarutkan dalam air laut akibat interaksi antara air laut dengan atmosfir dan akibat peluruhan material organik yang adqa di dasar laut atau yang berasal dari darat. Organisme cenderung menggunakan karbon ringan (12C); karena itu, CO2 yang berasal dari peluruhan material organik mengandung 13C yang jauh lebih rendah dibanding karbon dioksida yang berasal dari atmosfir. Air yang berasal dari darat (mengandung banyak material organik tanah; memiliki nisbah 13C/12C yang rendah) dan mengalir menuju samudra akan menyebabkan rendahnya nilai δ13C di permukaan air laut yang dekat dengan daratan (dari gambar 28 tampak betapa rendahnya nilai δ13C dalam karbonat air tawar yang diendapkan di danau).
Faktor lain yang mempengaruhi nilai δ13C dari air laut, dan oleh karena itu juga mempengaruhi nilai δ13C dalam rangka organisme bahari, ialah lamanya waktu yang diperlukan oleh suatu massa air untuk tetap berada di laut-dalam. Jika suatu massa air tetap tinggal di laut-dalam dalam rentang waktu yang panjang, maka massa air itu makin lama akan makin sedikit mengandung karbon-13. Hal itu terjadi karena berlangsungnya oksidasi material organik bahari dengan kadar 13C rendah dan tenggelam dari permukaan laut. Oksidasi material organik itu menyebabkan terbentuknya bikarbonat (HCO3) bernilai 13C rendah. Respirasi oleh organisme yang hidup di dasar laut juga kemungkinan menyebabkan turunnya nilai 13C dalam air yang terletak di dekat dasar (Kennett, 1982). Jika air itu, dengan satu atau lain cara, kemudian tersirkulasi ke permukaan, maka organisme penghasil karbonat akan memanfaatkan unsur-unsur dalam air bernilai 13C rendah itu untuk dijadikan sebagai material pembentuk tubuhnya.
Karena 13C dalam cangkang organisme bahari gampingan merupakan fungsi dari nilai 13C dalam air laut yang menjadi lingkungan tempat kehidupannya, maka perubahan nilai 13C dalam fosil organisme bahari dari waktu ke waktu meng-indikasikan perubahan massa air laut dalam rentang waktu yang sama. Penurunan nilai 13C dalam fosil organisme gampingan mungkin mencerminkan perubahan pola sirkulasi dan upwelling air laut di masa lalu yang menyebabkan air laut-dalam bernilai 13C rendah menyebar secara vertikal dan lateral menuju bagian-bagian laut yang lain. Hal itu juga mungkin mencerminkan perubahan pola sirkulasi air laut di masa lalu yang menyebabkan air laut-dangkal bernilai 13C rendah mengalir dari daerah dekat daratan menuju laut-dalam. Peningkatan biomassa total di wilayah benua selama selang waktu geologi tertentu dapat menyebabkan meningkatnya aliran air bernilai 13C rendah menuju samudra. Hal itu, pada gilirannya akan tercermin sebagai suatu episode dimana air permukaan memiliki nilai 13C yang rendah. Peningkatan laju erosi sedimen yang kaya akan material organik, misalnya serpih hitam dan batugamping, di daratan dapat menyebab-kan bertambahnya aliran air bernilai 13C rendah menuju samudra. Perubahan pola sirkulasi atauorganic carbon runoff dari wilayah benua dapat mempengaruhi cekungan samudra, bahkan dapat mempengaruhi seluruh samudra. Di lain pihak, penurunan laju penguburan sedimen di dasar samudra akan menimbulkan efek yang berlawanan, yakni menyebabkan material organik bernilai 13C rendah tidak dapat berinteraksi secara langsung dengan air laut. Hal ini pada gilirannya menyebabkan meningkatnya nilai 13C dalam air laut. Vincent & Berger (1985) berpendapat, misalnya saja, bahwa baik nilai 13C maupun penguburan karbon organik dalam sedimen tepian benua saling berkaitan dan bahwa hal itu disebabkan oleh penurunan kadar CO2 dari atmosfir dan penurunan temperatur.
Karena perubahan nilai 13C di samudra tercermin dari nilai 13C dalam organisme bahari gampingan, maka isotopic excursions itu dapat digunakan untuk tujuan korelasi. Sebagai contoh, penurunan 13C, yang agaknya berlangsung secara global, pernah terdeteksi dalam sedimen bahari pada sekitar 5,9 hingga 6,2 Ma. Hal itu kemungkinan mencerminkan perubahan pola sirkulasi dan upwelling laut-dalam (Kennett, 1982: 87). Event lain yang mencerminkan terjadinya penurun-an nilai 13C secara tiba-tiba terekam dekat batas Eosen-Oligosen dan batas Paleosen-Eosen. Penurunan yang sama juga terdeteksi dekat batas Kapur-Tersier. Hal ini agaknya mencerminkan injeksi air tawar dari Arktik (Odin dkk, 1982). Di lain pihak, beberapa kali peningkatan 13C yang cukup tajam terjadi pada Miosen Tengah antara 12 sampai 18 Ma (gambar 30). Hal itu agaknya berasosiasi dengan proses penguburan yang sangat cepat pada karbon organik dan penurunan level CO2 di atmosfir (a.l. Woodruff & Savin, 1991). Semuacarbon excursion tersebut di atas pada hakekatnya merupakan synchronous events yang dapat dikorelasikan dari satu tempat ke tempat lain hingga jarak yang sangat jauh.

Isotop-Isotop Belerang

Belerang memiliki empat isotop stabil (tabel 1). Sulfur-32 dan Sulfur-34 merupakan isotop yang paling melimpah. Nisbah 34S/32S dipakai dalam banyak penelitian stratigrafi yang melibatkan pemanfaatan isotop Sulfur dan dinyatakan sebagai δ34S, yakni nilai deviasi nisbah 34S/32S, relatif terhadap meteorite standard, yakni troilite (sejenis mineral FeS) yang berasal dari meteorit Canyon Diablo. Gambar 31 memperlihatkan nilai-nilai δ34S dalam berbagai material.
Penyebab fraksinasi isotop belerang di samudra biasanya adalah reduksi sulfat (SO4=) dalam air laut, oleh bakteri, menjadi beberapa jenis sulfida (H2S, HS-, HSO4-). Reduksi sulfat yang larut dalam air laut oleh bakteri, pada batas sedimen-air, menyebabkan terjadinya fraksinasi isotop belerang sehingga air laut sisanya akan mengalami peningkatan nilai δ34S sekitar 20‰ dan penurunan nilai δ34S dalam sulfida yang tereduksi hingga sekitar 9‰ (Schopf, 1980). Presipitasi evaporit dari sulfat bahari yang larut dalam air laut menyebabkan terjadinya fraksinasi lain (sekitar 1,65‰) sehingga menyebabkan δ34S evaporit lebih tinggi dibanding sulfat yang larut dalam air laut. Faktor-faktor minor yang mempengaruhi nilai δ34S dari air laut adalah oksidasi bakteri menjadi H2S, untuk menghasilkan sulfat yang kekurangan akan 34S (relatif terhadap kadar semula) dan emanasi sulfat atau sulfida secara lokal melalui aktivitas gunungapi.
Sulfat bahari sekarang ini memliki nilai δ34S rata-rata sekitar 21‰. Walau demikian, nilai δ34S dalam evaporit laut purba berkisar mulai dari sekitar 10 hingga 30‰ (gambar 31). Berdasarkan nisbah isotop-isotop belerang dalam endapan evaporit purba, tampak bahwa nisbah isotop belerang pada air permukaan laut telah mengalami perubahan-perubahan besar, atau excursions, dari waktu ke waktu (gambar 32). Perubahan-perubahan itu, yang juga disebut “catastrophic chemical events” oleh Holser (1977), dicirikan oleh peningkatan δ34S secara tajam pada air permukaan laut serta oleh “overshoots” lokal. Ada tiga events besar menandai peningkatan δ34S secara tajam di masa lalu, dimana setiap event itu diberi nama berdasarkan nama formasi evaporit yang menjadi asalnya. Ketigaevents itu ialah: Yudomski event pada akhir Prakambrium (635 Ma); Souris event pada Devon Akhir (sekitar 370 Ma); dan Rot event pada Trias Tengah hingga Akhir (sekitar 240Ma). Selain excursions yang menandai peningkatan δ34S secara tajam, dikenal pula event lain yang menandai penurunan δ34S secara tajam, yakni event yang terjadi pada Perm Akhir dan Paleogen Akhir (gambar 32). Banyak diantara sulfur isotope excursions itu agaknya mempengaruhi semua laut yang ada di muka bumi.
Chemical events yang dicirikan oleh peningkatan δ34S secara tajam mungkin disebabkan oleh proses pencampuran katastrofis antara garam-garam laut-dalam yang kaya akan 34S dengan air permukaan. Garam-garam itu terbentuk akibat tersimpannya endapan evaporit dalam cekungan-cekungan laut-dalam. Di bawah endapan-endapan itu terjadi reduksi oleh bakteri yang menyebabkan terbentuknya pirit sedemikian rupa sehingga menambah jumlah garam yang kaya akan sulfat 34S. Pencampuran katastrofis antara garam-garam yang kaya akan 34S dengan air permukaan, akibat hancurnya cekungan oleh tektonik, menyebabkan terjadinya peningkatan tajam δ34S dalam air laut yang terletak di permukaan dan, pada gilirannya, menyebabkan banyak evaporit yang terbentuk saat itu memiliki nilai δ34S yang lebih tinggi dari endapan evaporit yang terbentuk sebelumnya (a.l. Holster, 1977). Peningkatan nilai δ34S secara berangsur pada air di permukaan laut dari waktu ke waktu setelah berlangsungnya suatu catastrophic event terjadi akibat tererosinya massa daratan yang didominasi oleh mineral sulfida dan terjadinya pemasokan material itu ke dalam cekungan samudra dengan laju pemasok-an yang lebih tinggi dibanding laju pengendapan evaporit (Holster, 1977; Claypool dkk, 1980). Sebab musabab penurunan nilai δ34S secara tajam, misalnya pada Paleogen Akhir (gambar 32), belum dipahami seluruhnya.
Sulfur isotope excursions tersebut di atas menghasilkan kurva perubahan kadar isotop belerang dari waktu ke waktu karena setiap catastrophic chemical event terjadi dalam rentang waktu geologi yang pendek. Dengan demikian, setiap major event merepresentasikan suatu synchronous stratigraphic marker yang dapat dikorelasikan dari satu tubuh endapan evaporit ke tubuh endapan evaporit lain. Sebagian diantara events itu dapat dikorelasikan dalam skala global. Jadi, events itu memberikan suatu metoda penting untuk korelasi kronostratigrafi endapan-endapan evaporit secara internasional, pada saat cara-cara korelasi yang lain biasanya tidak dapat diterapkan.

Isotop-Isotop Stronsium

Isotop-isotop Stronsium yang utama adalah 87Sr dan 86Sr. Menurut Faure (1986), nisbah 87Sr/86Sr di samudra dikontrol oleh erosi kimia batuan vulkanik muda di daratan dan cekungan samudra, batuan Prakambrium sialik dalam kerak benua, dan batuan karbonat bahari Fanerozoikum. Karena nisbah 87Sr/86Sr dalam setiap batuan sumber berbeda-beda, maka laju pelapukan batuan-batuan itu akan menyebabkan bervariasinya nisbah 87Sr/86Sr di samudra. Pelapukan karbonat bahari secara khusus banyak menghasilkan Stronsium. Nisbah isotop Stronsium dalam air laut bersifat konstan di semua bagian samudra untuk satu rentang waktu tertentu, namun bervariasi dari waktu ke waktu akibat berubahnya jumlah Stronsium yang dipasok ke laut akibat proses-proses pelapukan. Stronsium keluar dari laut melalui presipitasi mineral kalsium dan kalsium karbonat. Karena itu, analisis karbonat bahari yang umurnya bervariasi memungkinkan ditentukannya komposisi isotop Stronsium dalam air laut dari waktu ke waktu.
Gambar 33 memperlihatkan variasi nisbah 87Sr/86Sr dalam karbonat bahari Fanerozoikum. Nilai-nilai itu mencerminkan variasi nisbah isotop-isotop tersebut dalam air laut sejak akhir Prakambrium. Perhatikan bahwa nisbah 87Sr/86Sr secara umum mengalami penurunan sejak Prakambrium hingga Jura, meskipun pada trend penurunan global itu masih ditemu-kan sejumlah excursion, misalnya pada Ordovisium, Devon, Mississippian, dan Perm. Sejak Jura, nisbah isotop Stronsium secara umum makin meningkat hingga sekarang.
Major 87Sr/86Sr excursions selama Paleozoikum dan Mesozoikum (gambar 33) berlangsung dalam rentang waktu yang terlalu panjang untuk dapat dimanfaatkan dalam kronokorelasi satuan stratigrafi berskala kecil, meskipun kurva87Sr/86Sr dapat digunakan sebagai geokronometer untuk memperkirakan umur batuan sedimen bahari (Faure, 1982). Di lain pihak, korelasi berdasarkan isotop Stronsium berhasil diterapkan pada beberapa formasi Tersier. Sebagai contoh, Depaola dan Finger (1988) memakai isotop Stronsium untuk mengkorelasikan strata bahari dalam Monterey Formation (Miosen) di California dengan resolusi yang lebih kurang sama dengan resolusi korelasi yang didasarkan pada metoda biostratigrafi. Dengan mengkorelasikan nisbah 87Sr/86Sr dalam strata itu dengan kurva air laut seperti yang diperoleh dari inti bor DSDP di baratdaya dan tengah Samudra Pasifik, mereka mampu menentukan umur strata itu dengan resolusi mulai dari sekitar 0.1 hingga sekitar 2.5 Ma.

Masalah-Masalah Kronokorelasi Isotop

Lapangan geokimia isotop stabil sangat kompleks. Masih banyak pertanyaan—terutama mengenai kesahihan isotope xcursions dalam rekaman geologi serta pemakaiannya dalam kronokorelasi—belum terjawab secara memuaskan. Pem-bahasan tentang masalah-masalah itu serta detil-detil korelasi berdasarkan isotop stabil berada di luar lingkup buku ini. Informasi tambahan mengenai hal tersebut dapat diperoleh dari Claypool dkk (1980), Vazier dkk (1980), Arthur dkk (1983), Holland (1984), Holland & Trendall (1984), Holser (1984), Faure (1986), Hoefs (1987), serta Williams dkk (1988).

Korelasi Berdasarkan Umur Absolut

Sebagaimana telah diketahui, pentarikhan radiometrik terhadap batuan beku dan batuan sedimen menjadi dasar untuk melakukan kalibrasi skala waktu geologi secara mendetil. Walaupun radiokronologi bermanfaat dalam hal tersebut, namun data umur yang ditentukan secara radiometrik masih belum digunakan secara luas untuk tujuan kronokorelasi batuan sedimen. Kita dapat saja mengasumsikan bahwa data umur absolut hendaknya digunakan sebagai dasar utama untuk kronokorelasi. Namun, banyak batuan sedimen tidak mengandung material yang dapat ditentukan umurnya. Selain itu, presisi umur radiometrik yang diperoleh dari batuan sedimen seringkali tidak cukup baik untuk tujuan korelasi.
Umur-umur ketidaksetimbangan Karbon-14 dan Uranium-238 (230Th/231Pa) dapat digunakan untuk mengkorelasikan batuan yang sangat muda. Namun, para ahli geologi belum berhasil memanfaatkan secara maksimum data umur untuk mengkorelasikan batuan sedimen yang lebih tua karena adanya faktor ketidakpastian dalam metoda pentarikhan langsung (direct-dating method) pada batuan tua. Gambar 34 memperlihatkan, misalnya saja, bahwa ketidakpastian umur glaukonit dapat berkisar mulai dari ribuan hingga sekitar satu juta tahun. Secara statistik, galat sebesar satu juta tahun itu kecil apabila dibandingkan dengan umur batuan yang mungkin beratus-ratus juta tahun. Namun, bagaimanapun juga, galat itu terlalu besar untuk tujuan korelasi. Di lain pihak, umur radiometrik merupakan satu-satunya alat korelasi batuan Prakambrium pada umumnya. Kompleksitas litologi dan struktur serta tidak tersedianya fosil dalam batuan itu tidak memungkinkan dilakukannya korelasi yang didasarkan pada metoda lain. Data umur absolut juga merupakan aset yang sangat besar dalam pemelajaran stratigrafi batuan vulkanik serta terbukti sangat bermanfaat untuk mengkorelasikan lintap vulkanik Kenozoikum.